Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan bila menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau mungkin anda mengenal seseorang yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan sangat membutuhkan pertolongan:
1.Menceritakan kejadian kepada orang lain, seperti teman dekat, kerabat atau lembaga-lembaga pelayanan atau konsultasi.
2.Melaporkan ke polisi.
3.Mencari jalan keluar dengan konsultasi psikologis maupun konsultasi hukum.
4.Mempersiapkan perlindungan diri seperti uang, tabungan, surat-surat penting untuk kebutuhan pribadi dan anak.
5.Pergi ke dokter untuk mengobati luka-luka yang dialami dan meminta dokter untuk membuat visum.
Oleh karena itu Indonesia sejak tanggal 22 September 2004 mengesahkan UU No. 23 tahun 2004, Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan, meminimalisasi, menindak pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami kekerasan rumah tangga.
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Secara khusus, UU di atas memberikan perlindungan kepada perempuan yang mayoritas menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
CARA MENCEGAH ATAU MENGATASI KDRT
1.Peliharalah suasana harmonis dalam rumah tangga dengan saling memahami, saling menghargai, dan saling mencintai.
2.Lakukan selalu komunikasi yang sehat.
3.Hargailah hak dan kerjakanlah kewajiban masing-masing anggota keluarga sebagaimana mestinya.
4.Jangan terlalu sayang pada diri sendiri.
5.Lakukan relaksasi dua kali sehari.
6.Setiap masalah segera diselesaikan, jangan ditumpuk.
7.Gunakan teknik pengubahan tingkah laku secara tepat.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik. Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat diartikan kekerasan atau penganiayaan baik secara fisik maupun secara psikologis yang bertujuan menyakiti remaja dan dilakukan secara sengaja oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya.. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang dialami seorang remaja putri saat menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, dampak yang terjadi dan apa yang menyebabkan remaja putri mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara Subjek dalam penelitian ini adalah seorang remaja putri berusia antara 18 tahun sampai dengan 19 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh ayah tiri. Subjek mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh ayah tiri subjek sendiri. Adapun kekerasan yang subjek alami adalah kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik dimana subjek mengalami perlakuan kasar dengan ditampar, dijambak, didorong hingga terjatuh dan bahkan dilempar dengan menggunakan benda. Subjek juga mengalami kekerasan verbal dan psikologis, dimana subjek sering dimarahi dengan kata-kata makian dan hinaan. Sedangkan kekerasan psikologis yang subjek alami adalah subjek sering mendapatkan ancaman, selalu diatur dan diperintah oleh pelaku. Selain itu, subjek juga mengalami kekerasan dalam bentuk kekerasan finansial, dimana subjek mendapatkan pembatasan dan pengontrolan dalam hal keuangan dengan tidak yang semestinya. Kekerasan lain yang subjek alami adalah kekerasan emosional dari lingkungan, dimana subjek tidak mendapatkan pertolongan dan perhatian yang semestinya dari orang-orang terdekat serta masyarakat sekitar yang mengetahui jika subjek mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Namun subjek tidak mengalami kekerasan dalam bentuk lainnya, baik itu kekerasan seksual maupun kekerasan spiritual. Kekerasan dalam rumah tangga yang subjek alami memiliki berbagai dampak terhadap diri subjek, dimana pada diri subjek terjadi penurunan prestasi akademik serta hilangnya keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Subjek juga menyimpan rasa dendam dan sakit hati terhadap pelaku kekerasan serta masih merasakan trauma akibat dari kekerasan yang dialaminya. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga yang subjek alami juga berdampak pada rasa kepercayaan diri subjek, dimana subjek memiliki rasa percaya diri yang rendah. Subjek juga cenderung mengalami kesulitan untuk dapat mempercayai orang lain, tidak merasa kerasan untuk tinggal di rumah dan terkadang bersikap melanggar hukum dan norma sosial. Dampak lainnya terdapat pada sikap subjek dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, dimana subjek tidak dapat menjalin komitmen yang serius dengan satu pria dan menetapkan kriteria tertentu terhadap lawan jenis yang akan mendekatinya. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga yang subjek alami juga memiliki dampak pada perilaku dan emosional subjek, dimana subjek jadi suka berkata kasar. Namun terdapat dampak positif yang muncul pada diri subjek, dimana subjek tidak menginginkan masalahnya diselesaikan dengan cara kekerasan, dimana subjek ingin menyelesaikan masalah dengan cara yang demokratis. Terdapat berbagai faktor yang turut mempengaruhi hingga menyebabkan subjek mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor coping melakukan kekerasan, dimana pelaku kekerasan tersebut atau yang tak lain adalah ayah tiri subjek memiliki pengalaman dalam hal kekerasan. Faktor lainnya adalah kondisi psikologis subjek, dimana sebagai seorang anak subjek tidak mengetahui hak-haknya serta terjadinya perceraian pada kedua orang tua subjek sehingga subjek memiliki ayah tiri. Selain itu, peneliti menemukan faktor lain yang turut mendorong mengapa subjek mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu faktor persepsi orang tua tentang pentingnya memberikan hukuman terhadap anak, sikap menentang pada anak, riwayat kesehatan orang tua serta persepsi sosial terhadap kehidupan dalam berumah tangga
Berkembangya teori-teori kepribadian tidak terlepas dari sejumlah faktor yang melatar belakangi dan mempengaruhinya, yang secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu faktor-faktor historis dan faktor-faktor kontemporer. Koeswara (1991: 13) mengibaratkan kedua faktor tersebut sebagai faktor pembawaan dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang.
1. Faktor-faktor historis
Secara historis banyak faktor yang mempengaruhi berkembanya teori-teori kepribadian dan empat diantaranya merupakan faktor yang pengaruhnya sangat kuat. Keempat faktor yang dimaksud adalah : a. peng-obatan klinis Eropa, b. psikometrik, c. behaviorisme, dan d. psikologi Gestalt (Koeswara, 1991: 13).
a. Pengobatan klinis di Eropa
Upaya pengobatan, sepanjang sejarah selalu dihubungkan dengan konsepsi tentang kepribadian. Demikian halnya dengan apa yang dilekukan di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19, terutama di Perancis. Atas dasar konsepsi-konsepsi fisiologis dan aktivitas-aktivitas mental manusia, Philipe Pinel (1745-1926), seorang dokter dari Perancis, menggambarkan gangguan kepribadian psikosis sebagai akibat dari kerusakan fungsi otak.
Seorang dokter dari Jerman, Emil Kraeplin (1856-1926), membuat klasifikasi gangguan kepribadian berdasarkan konsepsi tentang psikosis yang fisikalistis. Ditinjau dari perkembangan teori kepribadian, apa yang dilakukan Kraeplin merupakan langkah besar karena gangguan kepribadian sudah dirumuskan dan diklasifikasikan secara ilmiah.
Pengaruh terbesar dari sejarah pengobatan klinis di Eropa terhadap perkembangan kepribadian adalah yang terjadi pada abad ke-20, yaitu ketika Sigmund Freud menuliskan konsepsi-konsepsinya yang dia susun berdasarkan temuannya dalam menyembuhkan penderita neurosis, khususnya histeria. Pengaruh Freud dengan Psikoanalisisnya terhadap teori kepribadian dapat dilihat dari fakta bahwa hampir seluruh teori kepribadian modern mengambil sebagian atau setidak-tidaknya mempersoalkan konsepsi-konsepsi Freud dala penyusunan teori kepribadian (Koeswara, 1991: 15).
b. Psikometrik
Psikometrik atau pengukuran psikologi memberikan pengaruh yang harus diperhitungkan dalam perkembangan teori kepribadian. Sebelum ada psikometrik, ada anggapan bahwa fungsi-fungsi psikologis manusia seperti kecerdasan, bakat, minat, motif, dst., sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk bisa diukur.
Berbicara tentang psikometrik dari sisi historis, tidak terlepas dari pembahasan mengenai apa yang dilakukan oleh Gustav Theodor Fecher (1801-1887). Fechner, yang beranggapan bahwa jiwa itu identik dengan raga, banyak melakukan penelitian, khususnya tentang pengideraan dengan metode eksperimen.
Apa yang telah dilakukan oleh Fecher menjadi pendorong bagi para ahli yang muncul kemudian untuk mengembangkan dan menggunakan pendekatan psikometrik untuk kaitan antara aspek fisik dengan aspek mental. Dengan berkembangnya psikometrik memungkinkan dilakukannya penelitian di bidang kepribadian.
c. Behaviorisme
Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang lahir di Amerika Serikat dipelopori oleh John B. Watson (1878-1958). Pengaruh behaviorisme terhadap perkembangan teori kepribadian terletak pada upaya-upaya dan anjurannya untuk memandang dan meneliti tingkah laku manusia secara objektif. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para behavioris dengan metode eksperimen mampu memberikan sumbangan besar bagi terciptanya konsep-konsep tentang kepribadian yang ketepatannya bisa diuji secara empiris.
d. Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt merupakan aliran psikologi yang lahir di Jerman dan yang dipelopori oleh Max Wertheimer (1880-1943), Wolfgang Kohler (1887- 1967), dan Kurt Koffka (18886-1941). Prinsip pertama dan utama dari psikologi Gesltalt adalah bahwa suatu fenomena hanya dan harus dimengerti sebagai suatu totalitas atau keseluruhan. Demikian halnya dengan manusia berikut kesadaran dan tingkah lakunya hanya dapat dipahami jika hal itu dilihat sebagai suatu totalitas. Beberapa teoris kepribadian terkemuka yaitu Adler, Goldstein, Allport, Maslow, dan Rogers mengembangkan teori kepribadian berdasarkan prinsip holistik atai totalitas dari psikologi Gestalt.
Prinsip kedua psikologi Gestalt, yang juga ikut mempengaruhi para teoris keprbadian adalah prinsip bahwa fenomena merupakan data mendasar bagi psikologi. Untuk itu dalam memahami perilaku manusia maka peneliti atau pengamat harus berusaha merasakan dan menghayati apa yang dialami oleh subjek yang diamati.
2. Faktor-faktor Kontemporer
Faktor-faktor kontemporer yang mempengaruhi perkembanga teori kepribadian mencakup faktor dari dalam dan dari luar psikologi. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam bidang psikologi yaitu: a. munculnya perluasan bidang psikologi, seperti psikologi lintas budaya (cross-cultural psychology), dan b. Studi tentang proses-proses kognitif dan motivasi.
Faktor-faktor kontemporer dari luar bidang psikologi yang mempengaruhi perkembangan teori kepribadian antara lain berkembangnya aliran filsafat eksistensialisme, perubahan sosial budaya yang pesat, dan berkembangnya teknologi komputer.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang menekankan kebebasan, penentuan diri, dan keberubahan manusia, mempengaruhi para teoris kepribadian eksistensial dan humanistik. Perubahan sosial budaya telah memberikan arah baru kepada penelitian dan penyusunan teori kepribadian. Sedangkan berkembangnya teknologi komputer membuka peluang yang luas bagi penelitian secara besar-besaran dan cermat.