Awal Mula Terjadinya Bencana
Di Yogyakarta, tepatnya pada hari Selasa (26/10) terjadi letusan pada pukul 17.02 WIB. Rupanya Gunung Merapi yang biasanya terlihat tenang dan tidak menunjukkan reaksi apapun, ketika itu meletus dan mengeluarkan awan panas. Awan panas yang terus membumbung tinggi di langit terus muncul tiada berhenti setelah letusan terjadi. Letusan yang terjadi sebanyak 3 kali terdengar jelas dari jarak 1,5 kilometer, yang mengharuskan para pengungsi berpindah posko dengan jarak yang lebih jauh dan lebih aman.
Awan panas yang merupakan campuran material dari letusan yang berupa gas dan bebatuan dengan suhu sangat tinggi yaitu 300-700 derajat celsius, dengan kecepatan lumpur sangat tinggi, lebih dari 70 km per jam ini akhirnya menelan korban. Ratusan warga meninggal karena menghirup debu dan terbakar lumpur panas yang keluar dari gunung. Mirisnya lagi, tidak hanya menelan korban orang-orang dewasa, namun anak-anak kecil bahkan banyak bayi-bayi yang ikut andil menjadi korbannya.
Begitu mencengangkan dan mengharukan.
Tidak hanya letusan dan semburan awan panas saja, namun hujan abu lebat berisi material batu dan pasir halus menyelumbungi seluruh wilayah ini. Gas racun seperti karbon dioksida (CO), hidrogen sulfida (HS), hidrogen klorida (HCL), sulfur dioksida (SO), dan karbon monoksida (CO) sepertinya akan menjadi teman setia bagi para pengungsi yang masih bertahan untuk menunggu bantuan pemerintah.
Ribuan warga yang tinggal di lereng gunung yang masih bisa menyelamatkan diri serempak lari berhamburan menjauh dari tempat kejadian. Awan panas yang menyelimuti pemukiman warga rupanya membuat para warga kelagapan dan kebingungan mencari tempat untuk mengungsi. Ditambah lagi dengan himbauan dari kepala pemerinatah setempat yang memerintahkan warga untuk tidak berada di kawasan gunung yang masih rawan.
Rumah dan harta benda sudah tidak bisa lagi diselamatkan, sanak saudarapun telah pergi meninggalakan mereka, sawah, ladang dan hewan-hewan ternak juga telah mati, musnah dan menimbulkan rasa kehilangan yang teramat sangat.
Akhirnya para warga terpaksa mengungsi, dan berkumpul disatu tempat dengan orang-orang yang berasal dari berbagai macam tempat. Kelompok pengungsi yang tinggal bersama namun tidak memiliki ikatan antar satu individu dengan individu yang lainnya di dalam Psikologi Kelompok disebut sebagai kelompok non-identitas. Cenderung kurang intesnsif dalam berinteraksi, namun tetap dikatakan sebuah kelompok.
Dampak Meletusnya Gunung Merapi Dilihat dari Beberapa Aspek
- Aspek Kesehatan
a) Abu gunung yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan
b) Cedera akibat bebatuan gunung
c) Luka bakar karena awan panas yang ditimbulkan
d) Kekurangan air bersih dan makanan mengakibatkan kelaparan dan dehidrasi
e) Kekambuhan atau perburukan penyakit yang sudah diderita para pengungsi
f) Kontaminasi makanan yang mengakibatkan keracunan
g) Asma
h) Gatal-gatal
i) Diare
j) Tetanus
- Aspek Psikologis :
Masalah selanjutnya dalam pengungsian adalah kondisi psikologis dari korban bencana. Sebagian besar pengungsi mengalami berbagai macam jenis tekanan psikologis akibat bencana tersebut, diantaranya adalah :
a) Stess dengan beragam tingkatan, dari stress ringan sampai stress berat
b) Tertekan di tempat pengungsian, bahkan banyak pengungsi sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa
c) Insomnia tingkat ringan sampai berat
d) Tak bisa memahami realitas atau berperilaku kacau
e) Merasa khawatir dengan masa depan
f) Kerusakan jaringan otak
g) Trauma berat
h) Merasa jenuh
i) Ketakutan
j) Kesepian
k) Labil
Masalah-masalah psikologis yang dialami para pengungsi inilah yang mengakibatkan banyak kerugian, dari terhambatnya peluang untuk mengembangkan diri dan ketidakpastian masa depan.
- Aspek Sarana Prasarana dan Lingkungan
Bencana ini juga berdampak buruk pada sarana prasarana masyarakat pasca Gunung meletus di Yogyakarta, seperti :
A. Lingkungan Pemukiman Masyarakat
a) Rumah hancur rata dengan tanah
b) Kecelakaan lalu lintas akibat jalan berdebu licin
c) Gedung-gedungpun hancur
d) Sawah dan ladang rusak dan tidak berfungsi
e) Aliran listrik mati
f) Aliran air rusak dan disfungsi
g) Hewan-hewan ternak mati
h) Tanaman dan pohon mati
i) Jalanan umum rusak, licin dan penuh bebatuan
B. Lingkungan Pengungsian
a) Gedung rumah pengungsian sangat tidak layak
b) Atap rumah bocor
c) Terbatasnya tempat tidur
d) Terbatasnya fasilitas MCK dan dapur
e) Terbatasnya pakaian dan makanan
- Aspek Pendidikan
Meletusnya gunung Merapi juga berdampak pada pendidikan anak-anak. Sekolah mereka terbengkalai, seketika proses belajar terhenti karena sarana sekolah yang telah rata tanah. Namun, pemerintah tetap mencoba memperbaiki keadaan tersebut dengan mendirikan sekolah gabungan, dengan memanfaatkan gedung-gedung yang masih bisa dipakai. Itupun tidak sepenuhnya berjalan dengan efektif, karena anak-anak pengungsi yang belum bisa beradaptasi dengan suasana sekolah yang mereka tumpangi itu.
Bahkan, belum cukup kenal teman baru dan adaptasi saja mereka sudah harus dipindahkan lagi ke ‘sekolah’ lain. Nasib sejumlah murid terombang-ambing. Kondisi inilah yang membuat anak-anak bingung dan terpaksa menuruti aturan pemerintah.
- Aspek Ekonomi
Masalah utama yang dialami para korban bencana dilihat dari aspek ekonomi adalah kehilangan mata pencaharian. Dan menurut seorang pengamat ekonom, para pengungsi letusan Gunung Merapi membutuhkan pengalihan lapangan pekerjaan karena lahan pertanian tidak dapat langsung digunakan kembali, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Bagaimanakah Relokasi dan Penanganan Korban Bencana Merapi?
Manajemen penanganan bencana yang kurang terencana membuat pemetaan kawasan rawan bencana, pengungsi, lokasi pengungsian, tanggap darurat, dan mobilisasi alat berat kurang tepat.
Menurut kelompok kami, alangkah baiknya pemerintah atau kepala koordinator penanganan bencana Merapi lebih merencanakan, memepertimbangkan mengenai relokasi pengungsi agar tidak menghasilkan keputusan yang gegabah. Coba perhatikan penanganan dari berbagai macam aspek, dari aspek budaya, sosial, ekonomi, dan geografi.
Apakah lahan yang direncanakan sudah berada di posisi aman?
Apakah lahan yang digunakan kapasitasnya mampu menampung jumlah pengungsi?
Apakah lahan yang direncanakan mampu membantu, memperbaiki dan menunjang matapencaharian masyarakat yang hilang?
Berapakah dana yang disediakan pemerintah?
Bagaimana konstruksi gedung pengungsian yang akan dibuat?
Bagaimana penataan antara gedung pengungsian satu dengan gedung pengungsian lainnya?
Bagaimanakah dampak sosial yang akan terjadi dari relokasi yang direncanakan?
Bagaimanakah dampak budaya yang dianut masyarakat terhadap relokasi bencana?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sebaiknya diperbincangkan lebih dulu oleh pemerintah. Bencana yang terjadi diluar dugaan ini pastinya akan menimbulkan tindakan-tindakan gegabah dari pihak pemerintah, karena melihat kondisi warga yang panik dan menelan korban banyak, sehingga pemerintah memilih untuk membuat posko-posko dadakan dan seadanya yang padahal justru memunculkan banyak efek negatif bagi para pengungsi.
Dilihat dari aspek sarana prasarana dan lingkungan, banyak ketidaktersediaan sarana-sarana primer yang sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Kondisi ruangan yang sempit dan berdesakan, kamar mandi yang terbatas dan tidak layak, dapur, makanan, pakaian, tempat tidur yang sedikit, akan memunculkan stress dan perasaan tertekan dari sisi psikologis mereka. Ditambah lagi bagi para pengungsi yang kehilangan sanak saudaranya, kondisi pengungsian yang tidak nyaman, apa-apa yang dibutuhkan tidak tersedia, stress dan kesedihan yang mendalam menyerang, dan kondisi kesehatan menurut hingga akhirnya sakit. Semua itu saling berkaitan satu sama lain.
Menurut Psikologi Lingkungan, manusia itu memerlukan tempat tinggal yang aman, nyaman, dan memberika privasi, tempat kerja dan alat-alat yang memungkinkan manusia bekerja optimal. Namun berbanding terbalik bila kondisi lingkungan di lokasi pengungsian yang tidak memberikan keamanan dan kenyamanan tersebut.
Alangkah baiknya, pemerintah mempertimbangkan secara lebih mendalam mengenai efek jangka panjang dari pembuatan posko dadakan yang tidak memberikan kepastian perubahan. Beri arahan yang bijaksana kepada masyarakat untuk relokasi bencana, karena akan banyak warga yang menolak untuk pindah dari rumahnya jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memberi pengarahan yang baik untuk masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda ini.
Kondisi pengungsian yang padat dan penuh sesak membuat para pengungsi sulit beradaptasi, dan sulit berinteraksi secara optimal.
Sekarang saatnya ciptakan kondisi pengungsian yang lebih baik agar jumlah pengungsi yang mengalami gangguan psikologis bisa menurun. Berikan tempat relokasi yang tepat, tepat lahannya, tepat posisinya, tepat pengeluaran dananya, tepat konstruksi bangunannya, tepat menyediakan sarana utamanya, dan mempunyai resiko kecil untuk terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti, perombankan ulang bangunan karena ternyata jarak tempat pengungsian dan daerah rawan benacana masih masuk area ‘awas’.
Walau bagaimanapun, kita tidak bisa memisahkan aspek-aspek itu semua dalam melakukan relokasi kepada para pengungsi. Pertimbangan yang cepat dan tepat akan memperbaiki keadaan, dibandingkan asal menempatkan lokasi pengungsian.
Penanganan Korban Bencana Merapi secara Umum
Terkait dengan hal-hal tersebut, masyarakat sebaiknya lebih mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Untuk meminimalisir dampat Merapi bagi kesehatan, sebisa mungkin patuhi batas lokasi aman yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan sedapat mungkin masyarakat mengurangi aktifitas-aktifitas fisik yang bisa membuat terhirupnya debu-debu akibat letusan. Bilaupn keluar rumah, gunakan makser dan pakaian yang tertutup. Lapor dan segeralah berobat ke fasilitas kesehatan terdekat jika sakit. Bila memang sudah mengidap penyakit kronik, maka segeralah hubungi dokter yang biasa menangani atau setidaknya mempersiapkan obat-obatan rutin yang biasa dikonsumsi. Jaga daya tahan tubuh, makan makanan bergizi dan bersih, serta cukup istirahat. Untuk pengungsi anak-anak sebaiknya jangan terlepas dari orangtua mereka, dan bagi anak-anak yang orangtuanya telah menjadi korban agar pemerintah mengambil alih pertanggungjawabannya.
Dari segi psikologis, banyaknya relawan yang ikut serta membantu menyediakan jasa-jasa yang berperan untuk memulihkan psikologis korban bencana terutama anak-anak ini merupakan salah satu penanganan yang baik untuk dilakukan. Mendirikan posko-posko kesehatan di setiap pengungsian rupanya juga bermanfaat untuk membantu menstabilkan kejiawaan para pengungsi yang baru saja kehilangan sanak saudara, harta benda, pekerjaan, dan masa depan mereka. Alangkah baiknya psikolog-psikolog pun ikut andil dalam penanganan psikologis korban. Korban-korban yang mengalami stress, depresi, tertekan, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kelabilan, kejenuhan bahkan sampai yang mengalami kerusakan otak pun, dibantu dengan terapi-terapi psikologi.
Perasaan kesepian ditengah keramaian pastilah terjadi. Apalagi bagi yang baru saja ditinggalkan, perasaan sendirian dan kesepian menjadi bagian yang mendominasi dari dirinya. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981) timbul karena kehilangan, ditinggal pergi oleh orang yang disayangi, bahkan kematian. Sifatnya berupa perasaan dan subjektif. Maka dari itu, butuh motivasi dan pembangkit untuk korban-korban yang mengalami perasaan-perasaan seperti ini.
Belum lagi anak-anak yang mengalami trauma dan ketakutan akibat bencana ini. Menurut Sigmund Freud, dalam tahap psikoseksual, apapun yang terjadi dimasa dewasa seseorang disebabkan oleh masa traumatik pada masa kanak-kanak. Sebisa mungkin para Psikolog meminimalkan bahkan menetralkan traumatik ini sedini mungkin, sebelum berdampak buruk bagi masa depan anak.
Para relawan dan psikolog seyogyanya harus mempunyai emotional support yaitu ekspresi perasaan yang memperlihatkan adanya perhatian, simpati dan penghargaan terhadap orang lain. Emotional support juga mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain yang sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini erat hubungannya dengan kemampuan untuk memberikan afeksi dan empati. Dan kemampuan ini sangatlah dibutuhkan dalam membantu manangani psikologis korban bencana.
Kembali lagi membahas mengenai penanganan yang baik untuk para pengungsi, yakni dengan asupan spiritual. Para relawan dan psikolog juga bisa membantu menjembatani proses ini dengan terapi-terapi yang dilakukan. Anjuran untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa merupakan jalan terbaik untuk memasrahkan keadaan yang dihadapi, untuk menengkan diri dan memperkuat keyakina bahwa setelah kejadian ini akan ada masa depan yang lebih baik lagi.
Hiburan juga bisa dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kejenuhan pengungsi di posko-posko, seperti bermain permainan-permainan sederhana bersama anak-anak, mengadakan perlombaan dengan menyelipkan asuan-asupan motivasi kepada pengungsi. Motivasi adalah kecenderungan yang timbul pada seseorang untuk melakukan sesuatu aksi atau tindakan dengan tujuan tertentu yang dikehendakinya. Dengan motivasi, kita akan mengukur perilaku orang, bagaimana ia memberi perhatian, mengetahui relevansi antara motivasi dan kebutuhannya, kepercayaan dirinya dan hasil yang dirasakannya setelah ia melaksanakan motivasi.
Menangani mereka-mereka yang stress bagaimana?
Gangguan-gangguan seperti yang dialami para pengungsi dapat disebut juga sebagai gangguan psikosomatik yang tidak terlepas dari berbagai stresor psikososial dimana setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga ia harus menyesuaikan diri dan menanggulangi segala perubahan yang timbul. Jenis-jenis stresor yang timbul misalnya: (1) stresor sosial seperti masalah pekerjaan, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah keluarga, hubungan interpersonal, perkembangan, penyakit fisik, masalah kekerasan rumah tangga (2) stresor psikis seperti perasaan rendah diri, frustasi., malu, merasa berdosa. (3) stresor fisis (panas, dingin, bising, bau yang menyengat, banjir) dan lain-lain.
Mungkin ketidakpastian perubahan inilah yang menjadi masalah. “Sampai kapan begini terus?”. Namun kesediaan menolong tanpa pamrih dari para relawan, dan kegigihan serta ketulusan hati para relawan akan mampu menumbuhkan keyakinan dan kekuatan para korban untuk mau berusaha menata kehidupan yang baik lagi. Sifat menolong tanpa pamrih yang dilakukan relawan semacam ini disebut dengan Altruisme. Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Badson, Fortenbuch, dan Mc Carthy (1986) yang mengatakan bahwa tindakan prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa adanya empati, orang yang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberi pertolongan.
Lain cerita mengenai kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat letusan Merapi. Sebaiknya ditindaklanjuti oleh pemerintah, karena ini menyangkut pengeluaran dana bencana yang dikelola oleh pemerintah. Penyediaan lahan untuk bekerja kembali, memberikan modal dengan tepat dan merata kepada pengungsi, dengan konsep yang matang.
Apapun yang kini telah dan sedang terjadi, para pengungsi diharapkan bisa menjalani dengan ikhlas dan pasrahkan kepada Tuhan. Dampak yang ditimbulkan atas bencana ini memanglah besar, kita tidak bisa menolak, namun kita semua bisa merubahnya dan memperbakinya. Perencanaan yang terstruktur, kesabaran para korban, dan keinginan untuk berubah akan menjadi kekuatan besar untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Dan bagi para pemerintah diharapkan agar lebih serius dalam menanggapi dan menangani masalah relokasi dan pembenahan tempat pengungsian serta mempertimbangkan efek jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil baik itu efek internal dan efek eksternal.
Disusun Oleh :
Devi Anggraeni 10508054
Fristy Hanifia Sabilla 10508088
Putri Ratu Komala Sari 10508177
Tiara Nazwita Amin 10508224
Nur Ikhwan Mullia 10508264
Kelas : 3 PA 06