Pages

Sabtu, 26 Maret 2011

Kepadatan dan Kesesakan

Kepadatan atau destiny ini ternyata mendapat perhatian yang serius dari ahli – ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidit dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worchel dan Cooper, 1993) ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal – hal sebagai berikut :

Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus – tikus tersebut dapat melaksanakan perkawainan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah. Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadinya penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Selain itu, pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus – tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secra langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data – data yang sudah ada, dari data – data tersebut diamati gejala – gejala yang sering muncul dalam masyarakat.

Penelitian terhadap manusia yang dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerincikan : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas) ? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal –hal yang negatif akibat dari kepadatan.

Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

Kedua, peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri / murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.

Ketiga, terjadinya penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu – satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :

  1. Karakteristik seting fisik
  2. Karakteristik seting sosial
  3. Karakteristik personal
  4. Kemampuan beradaptasi

Kategori Kepadatan

Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain. Sedangkan Jain (1978) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur – unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur – unsur tersebut.

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1978) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu :

(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;

(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan

(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dala rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;

(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

KEPADATAN DALAM

Rendah

Tinggi

KEPADATAN LUAR

Rendah

Lingkungan pinggiran Kota

Wilayah Desa Miskin

Tinggi

Lingkungan Mewah Perkotaan

Perkampungan Kota

Gambar 2.3. Profil Kepadatan Zlutnik dan Altman

Sumber : Altman (1975)

Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

Akibat – Akibat Kepadatan Tinggi

Pada bagian sebelumnya disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat – akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia.

Menurut Heimtra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang disarankan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan Mc Farling, 1978).

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).

Akibat secara psikis antara lain :

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubaan suasana hati (Holahan 1982).

b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Giffor, 1987).

c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keingian individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).

d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemapuan individu untuk mengerjakan tugas – tugas pada saat tertentu (Holahan, 1982).

e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).

Konsep Tingkat Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk per satuan unit wilayah, atau dapat ditulis dengan rumus :

Jumlah penduduk yang digunakan sebagai pembilang dapat berupa jumlah seluruh penduduk di wilayah tersebut, atau bagian-bagian penduduk tertentu seperti : penduduk daerah pedesaan atau penduduk yang bekerja di sektor pertanian, sedangkan sebagai penyebut dapat berupa luas seluruh wilayah, luas daerah pertanian, atau luas daerah pedesaan.

Kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat dibagi menjadi empat bagian :

1. Kepadatan penduduk kasar (crude density of population) atau sering pula disebut dengan kepadatan penduduk aritmatika yaitu banyaknya penduduk per satuan luas.

2. Kepadatan penduduk fisiologis (fhysiological density) yaitu jumlah penduduk tiap kilometer persegi tanah pertanian.

3. Kepadatan penduduk agraris (agricultural density) yaitu jumlah penduduk petani tiap-tiap km2 tanah pertanian.

4. Kepadatan penduduk ekonomi (economical density of population), kepadatan penduduk ekonomi berbeda dengan ketiga macam kepadatan penduduk yang telah dibicarakan di atas yaitu jumlah penduduk persatuan luas. Pada kepadatan penduduk ekonomi ialah besarnya jumlah penduduk pada suatu wilayah didasarkan atas kemampuan wilayah yang bersangkutan.

KESESAKAN

Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor – faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu sesak mula – mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian – kejadian interpersonal.

Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunain rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunain, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.

Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal – hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang disini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.

Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsug terhadap ruang yang tersedia.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Berikut ini akan dibahas faktor – faktor yang mempengaruhi kesesakan dan pengaruh kesesakan terhadap perilaku

Teori Kesesakan

Kepadatan memang mengakibatkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ada 3 konsep yang menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, teori ecological model (Stocols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain;1987). Ketiga konsep tersebut menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Semakin padat suatu kawasan semakin banyak informasi yang melintas dihadapan penghuni adalah dinamika yang tidak terhindarkan, bila informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya , maka timbulah maslah psikologis.

Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu. Konsep ini berkaitan dengan konsep ekologi. Ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi maka lingkungan alam dan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah( Sulistyani et al., 1993).

Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain :

1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa;

2) munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja;

3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka;

4) menurunya prestasi kerja.

Teori 2 Kesesakan :

1. Teori Beban Stimulus

Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau info dari lingkungan.

Menurut Keating, Stimulus adalah hadirnya banyak orang dan aspek-aspek interaksinya, kondisi lingkunga fisik yang menyebabkan kepadatan social. Informasi yang berlebihan dapat terjadi karena :

a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan

b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat

c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki

d. Terlalu banyak mitra interaksi

e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama

2. Teori Ekologi

Membahas kesesakan dari sudut proses social

a. Menurut Micklin :

Sifat-sifat umum model pada ekologi manusia :

1. Teori ekologi perilaku : Fokus pada hubungan timbale balik antara manusia dan lingkungan.

2. Unit analisisnya : Kelompok social, bukan individu dan organisasi social memegang peranan penting

3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial

b. Menurut Wicker :

Teori Manning : Kesesakan tidak dapat dipisahkan dari factor setting dimana hal itu terjadi.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.

Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin, dan usia.

a) Kontrol pribadi dan locus of control

Seligman dan kawan – kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya. Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinya yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik dari pada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).

b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gilford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia. Sudstrom (dalam Gilford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stress akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.

Bell dan kawan-kawan (1987) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. (Adaptasi dan habituasi akan banyak dibahas pada bagian lain buku ini). Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.

Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.

Faktor Sosial. Menurut Gilford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :

a) Kehadiran dan perilaku orang lain

Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.

b) Formasi koalisi

Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari suatu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan seorang yang terisolasi di lain pihak (Gilford, 1987).

c) Kualitas hubungan

Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gilford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.

d) Informasi yang tersedia

Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gilford, 1987).

Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah, (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.

Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tinggal, kompleks perumahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah itu rumah tunggal (unit hunian tunggal).

Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer (dalam Gilford, 1987) dan Dibyo Hartono (1986) dalam hubungannya dengan urutan lantai pada rumah susun, menemukan bahwa penghuni lantai yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu disebabkan krena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada lantai yang lebih tinggi, sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisa memandang lingkungan yang lebih luas melalui jendelanya daripada penghuni lantai bawah.

Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :

a) Besarnya skala lingkungan

Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kawasan industri, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis seperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang terjadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan faktor-faktor fisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih baik bila diprediksikan hanya dengan faktor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan faktor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.

b) Variasi arsitektural

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.

McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan di bangunan vertikal dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negatif seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat diantara sesama penghuni.

Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang bisa diasosiasikan dengan perasaan sesak yang rendah, yaitu plafon yang tinggi sehingga menimbulkanh kesan yang luas dan menambah sirkulasi udara. Ruang yang berbentuk persegi panjang lebih baik tidak menimbulkan kesan kaku bila dibandingkan dengan ruang yang bujur sangkar. Perlunya jendela dan pintu yang memadai yang dapat berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan.

Altman (1975) dan Bell dkk. (1978) menambahkan faktor situasional seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan (lingkungan primer-sekunder), tipe suasana (suasana kerja rekreasi), dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan).

Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku

Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber – sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).

Bnayak literature dan penelitian – penelitian yang membahas tentang pengaruh kesesakan terhadap kehidupan manusia. Sampai sekarang ada beberapa ahli yang beranggapan bahwa kesesakan tidak hanya berpengaruh negatif bagi individu tetapi bisa juga berpengaruh positif.

Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai pengalaman yang kadang – kadang menyenangkan dan kadang – kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.

Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang timbul oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.

Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

Worchel dan Cooper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama – asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak dikunjungi oleh mahasiswa – mahasiswa yang tinggal di asrama dari pada yang tinggal sendiri.

Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkaurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982).

Dari beberapa penelitian Baum dkk. (dalam Fisher dkk., 1984) menyimpulkan bahwa kepadatan sosial lebih aversif daripada kepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memunculkan masalah hanya pada laki – laki saja karena dalam situasi padat laki – laki lebih bersikap kompetitif. Kebanyakan masalah keapdatan muncul karena laki – laki lebih banyak orang dalam suatu ruangan daripada masalah – masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang.

Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunnya perilaku sosial, ketidaknyamanan dan pengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-interaction hypothesis), efektif negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum & Valine dalam Watson dkk., 1984). Sementara menurut hipotesis kehilangan kontrol (the loss of control hypothesis), akibat negatif dari kesesakan terjadi karena kesesakan menyebabkan kita kehilangan kontrol selama kejadian (Baron & Rodin, 1978; Schmidt & Keating, 1979).

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigman (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskan menajdi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) kontrol pribadi yang kurang dan (4) stimulasi yang berlebih.

Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

Contohnya kepadatan dan kesesakan di kantor:

Kelelahan akibat kerja dapat menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan dan kemungkinan mengurangi kepuasan serta penurunan produktivitas. Ruang kerja yang mendukung aktivitas kerja serta tata letak yang teratur dan harmonis akan membantu memberikan kenyamanan saat individu bekerja.Meskipun kepadatan merupakan kondisi yang penting bagi karyawan, kepadatan sendiri tidak selalu menghasilkan rasa sesak, Suatu situasi yang diterima sebagai rasa sesak bergantung tidak hanya pada jumlah orang yang hadir (yaitu kepadatan) tetapi juga pada bermacam-macam kepribadian, sosial dan variabel-variabel lingkungan.

Kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan emosi negatif seperti rasa sesak, sehingga berbagai macam strategi penanggulangan masalah digunakan untuk mengatasi kesesakan yang timbul. Kesesakan bersifat subjektif dan taraf yang dirasakan berbedabeda pada tiap individu. Seorang karyawan dapat merasa bahwa ruang kerja yang ditempati terasa sesak sedang karyawan lain belum tentu merasakan hal yang sama.

Kepadatan merupakan bagian dari lingkungan kerja seseorang. Persepsi mengenai kepadatan dapat diberikan karyawan terhadap ruang kerja di mana karyawan bekerja. Kepadatan tidak selalu mengakibatkan kesesakan, namun apabila kepadatan yang dirasakan berakibat pada rasa sesak dapat timbul kejengkelan dan ketidaknyamanan sehingga umumnya karyawan akan mengeluh akibat kesesakan yang dirasakan. Ruang kerja yang memberikan kenyamanan saat karyawan bekerja akan membantu mengurangi kelelahan akibat kerja yang timbul.

Sumber :

  • Hendro Prabowo.1998. Arsitektur,Psikologi dan Masyarakat. Penerbit : Universitas Gunadarma
  • Hendro Prabowo.1998. Pengantar Psikologi Lingkungan.. Penerbit : Universitas Gunadarma

PENYEBARAN PENELAAHAN SIFAT MANUSIA BERDASARKAN LETAK GEOGRAFI

Indonesia adalah Negara kepulauan yang terletak di antara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik. Negara kepulauan tersebut mempunyai panjang wilayah 3400 mil terhitung dari Sabang sampai Merauke. Wilayah tersebut terletak di titik 95◦ BT - 141◦ BT dan 6◦ LU - 11◦ LS sehingga Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan berilkim teropis. Suhu udaranya rata-rata tinggi sepanjang tahun. karena letak geografisnya, iklim di Indonesia di pengaruhi oleh angin musim yang bertiup silih berganti setiap tahun. Dengan adanya pengaruh musim tersebut, maka terjadi dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan.

Karena wilayah yang luas dan banyaknya pulau yang ada di Indonesia serta memiliki kondisi geografis yang berbeda-beda, maka corak dan tradisi antar penduduk atau suku bangsa di Indonesia dari daerah berbeda.

Nenek moyang kita mendiami kepulauan Nusantara sudah sejak dahulu kala. Mereka hidup terpencar di pulau-pulau yang terpisah oleh lautan. Dengan menempati daerah yang terpencar ini, maka timbullah keanekaragaman budaya. Akan tetapi, keanekaragaman yang terlihat bukanlah merupakan perbedaan di bidang rasial, karena pada dasarnya asal mula bangsa Indonesia di perkirakan dari daerah yang sama. Adapun asal mula mereka adalah dari pangkal anak Benua Hindia Belakang. Jadi, letaknya berbatasan dengan Negara Cina yang terdapat dua pusat persebaran bangsa-bangsa. Pertama yaitu di Yunnan (di perbatasan Laos Muangthai dengan Cina), dan kedua di Dongson (di perbatasan Vietnam Utara dengan Cina), baik penghuni Yunnan maupun Dongson asalnya dari Daratan Tinggi Tibet. Kedua jenis bangsa pendatang ini di sebut dengan bangsa Austronesia.

Kedatangan bangsa Yunnan lebih awal bila dibandingkan dengan bangsa Dongson. Bangsa ini di sebut dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua). Suku-suku yang merupakan keturunan mereka adalah suku Batak, Dayak, Nias, Kubu, dan Toraja. Kemudian, Bangsa Dongson dikenal dengan sebutan Deutero Melayu (Melayu Muda). Suku bangsa keturunan mereka adalah suku Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, dan juga Bugis, Dibawah ini adalah contoh dari suku Jawa.

Contohnya :

Keikut sertaan orang Jawa dalam berpolitik terlihat pada pemilihan calon Gubernur Sumetara Utara, seorang tokoh Pujakesuma yang juga merupakan ketua umum Pujakesuma Propinsi Sumatera Utara yang bernama Ir. Suherdi, mengajukan diri sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Dengan harapan di dukung oleh masyarakat Jawa yang merupakan penduduk Mayoritas di Sumatera Utara, tetapi hasilnya malah ia kalah dari Gatot Pujonugroho yang juga merupakan orang Jawa tetapi tidak lahir di Sumatera Utara. Sebelumnya juga Sigit Pramono yang merupakan orang Jawa, mencalonkan diri sebagai walikota Medan ternyata dia juga kalah dalam perolehan suara dari Abdilah yang berpasangan dengan Ramli.

Ketidak kompakan orang Jawa dalam pemilihan seorang tokoh pemimpin, menunjukkan bahwa etnis Jawa tidak mau ambil pusing dalam hal politik, hal ini didasarkan pada ideologi yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang mereka yaitu orang Jawa itu memiliki sifat “adem, ayem, tentrem” (dingin, tenang, dan hidup tenang). Seaindainya saja orang-orang Jawa yang ingin bermain dikancah politik membulatkan suara untuk satu orang tokoh, maka perpecahan suarapun kemungkinan tidak akan terjadi.

Hal ini juga didasari karena ide berdirinya Paguyuban Pujakesuma bukan sebagai kendaraan politik melainkan sebagai wadah tempat menunjukkan identitas mereka, bahwa orang Jawa itu ada diantara etnis lain ditempat ia merantau. Ketidak kompakan orang Jawa dalam hal politik, dikarenakan adanya Budaya Falsafah Jawa yang mengajarkan bahwa mereka harus hidup dengan tenang, tidak harus duduk diatas segalanya.

Namun, sebagaimana di uraikan di atas bahwa orang jawa pada umumnya memiliki sifat keterbukaan emosi dan kultur yang tinggi. Mereka bisa menerima apapun yang datang, sekaligus menyeleksi dan meramunya sedemikian rupa hingga menghasilkan model baru yang dirasa tepat (cocok) bagi mereka sendiri. Ciri sifat orang jawa yang menonjol adalah selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan batin, menunjukkan diri selalu tenang, halus, lemah lembut, sopan santun, bertanggung jawab dan terkontrol.

Daftar pustaka :

· Novianto, 2004. Kuasa Wanita Jawa. Penerbit : PT. Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta

· Mulyadi,dll. 2004. Sosiologi (Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat). Penerbit : Yudhistira